- by Karina
- 25 September 2023
Loading
Siapakah 12 jenazah yang dikuburkan di sela sela tumpukan kerang purba, di Hinai, Stabat- Langkat ? Apakah leluhur nenek moyang orang Sumatra yang paling jauh sekalipun, pernah bertemu dengan mereka atau anak cucunya? Bertemu sezaman dalam satu ruang tapi berbeda dari segi ras, capaian teknologi dan budaya? (Semisal kini orang Papua berdampingan dengan pekerja Freport. Orang Rimba berdampingan dengan pendatang) Ataukah mereka telah ribuan tahun bergerak ke arah timur dan selatan Indonesia, saat leluhur manusia Sumatra yang sekarang datang di Langkat ini?
Pertanyaan ini muncul saat membaca arsip klipping lama tentang temuan kerangka manusia purba (Waspada 1974) . Kerangka manusia ditimbunan kerang Hinai Stabat yang menghebohkan itu kemudian dikirim Edward Mckinnon ke Prof.Dr.Teuku Jacob di Jogya , pada tahun 1974.
Bagaimanakah tafsir atas tulang belulang paling lengkap manusia purba Indonesia yang sampai kini disimpan di laboratorium antropologi ragawi UGM ini?
Tahun 2012 rasa ingin tahu saya membuat saya mendatangi laboratorium manusia purba UGM. Prof.Jacob saat saya datang sudah meninggal dunia.
Saya diterima oleh doktor murid Prof Jacob. Saya bertanya dimana kerangka manusia Stabat yang dikirim 40 tahun yang lalu? "Itu di belakang, paling belakang.." Melangkahi tumpukan kardus belum dibuka, saya tanya, ini kerangka apa? "Oh itu kiriman dari Medan juga. Punya pak Ketut Wiradyana dari Balar. Itu kerangka manusia purba Gayo untuk diteliti di sini". Kenapa gak ada AC untuk pengaman tulang belulang yang rapuh ini agar tidak rusak? " Dulu ada. Kini terbatas anggaran pak" Kenapa museum manusia purbanya di sebelah ini ala kadarnya? "Terbatas anggaran pak". (Hmm jangan kelen kira di perguruan tinggi sekaliber UGM ini, juga di perguruan tinggi lain, tidak ada politik anggaran, persaingan bidang keilmuan persaingan antar fakultas. Dulu waktu Prof.Jacob Rektor UGM, laboratorium dan Museum Antropologi Ragawi ini adalah yang paling hebat). Boleh dibawa pulang tulang belulang manusia ini ke Stabat ? "Silakan pak kalau ada yang mengurus, ada laboratorium dan museum yang lebih baik dari di sini". (Hmm Pemprovsu, Pemkab Langkat, ampunlah.No comment).
Sayapun mencoba mencari pakar paleoantropologi, bapak S.Boedhisampurno di Fakultas Kedokteran UGM yang melakukan riset laboratorium atas tulang belulang Manusia Stabat ini. Hasil riset yang sudah dipublikasikan, menunjukkan ada 12 kerangka, 8 perempuan dan 4 lelaki. Mereka termasuk mati muda, usianya antara 20 sampai 40 tahun.
Manusia Stabat ini dari identifikasi laboratorium Fakultas Kedokteran UGM ternyata berasal dari ras Austromelanesoid yang sekarang ada di kawasan Selatan dan Timur Indonesia. Ciri fisik ras ini wajah dan be tuk fisiknya kira kira seperti saudara saudara yang berada di Papua saat ini. Sementara ras orang Sumatra sekarang dominan ras Mongoloid seperti wajah dan fisik yang kita lihat umumnya sekarang. Berdampingan dengan kerangka Manusia Stabat juga ditemukan kapak genggang Sumatralith yang mereka gunakan. Perlu dicatat data arkeologis menunjukkan bahwa kapak genggam jenis runcing, sampai tahun 1980 an masih digunakan di Papua.
Penelitan lebih lanjut tentang Manusia Stabat saat ini dilakukan lewat gigi oleh Dr.Totok (Titik Koeswardani, pakar manusia purba) , teman kuliah saya di Universitas Hamburg, dan pernah jadi dosen Shohibul Anshor Siregar di Unair. Dr.Totok pernah dipakai Mabes Polri untuk mengidentifikasi gigi jenazah yang tidak dikenali, korban jatuhnya pesawat Hercules di Medan (2016). Lewat metode forensik gigi, identitas fisik dan data Manusia Stabat akan lebih akurat dijelaskan. Lewat gigi akan diketahui jenis makanan, sakit dan kebiasaan lainnya. Gigi menyimpan data diri yang sangat penting.
Dimana dan bagaimana nasib situs manusia Stabat itu? Puluhan tahun lalu bukit kerang itu dikorek rakyat untuk pertambangan kapur (cet jaman dulu). Kini yang sisa adalah kolam kolam kumuh dengan kedalaman mencapai 30 meter. Di sana sini saya masih menemukan jejak kerang purba juga batu Sumatralith. Penggunaan batu Sumatralith dengan variasinya bukan berarti mereka primitif semisal mawas. Manusia moderen juga menggunakan batu untuk menggiling sambal. Manusia prasejarah di gua gua Sulawesi mampu melukis dinding gua yang ribuan tahun catnya tidak lekang, capaian yang entah apakah bisa dilakukan pelukis moderen Sulawesi saat ini. Kapak persegi situs Deli Tua sebagaimana dijelaskan Ketut Wiradyana juga menunjukkan capaian teknologi yang mengagumkan. (Lihat FB saya 19.7.2018). Sulit membayangkan sekarang ada manusia moderen yang bisa buat kapak beliung sehalus dan sebagus itu tanpa bantuan logam dan mesin. Betapa hebatnya tangan tangan trampil manusia purba membentuk kapak persegi dari batu sangat langka yang sangat keras itu.
Jejak para pendatang purba ke Sumatra ini akan membantu pemahaman kita yang lebih cerdas tentang keberadaan orang orang Sumatra saat ini.
source: Prof. Dr. Phil. Ichwan Azhari, M.Pd.
0 Comments:
Leave a Reply