Loading
Kesultanan Deli merupakan kerajaan yang memiliki pengaruh besar dalam dalam sejarah. Kesultanan Deli yang pada awalnya merupakan sebuah kerajaan bernama Kerajaan Haru, sebuah kerajaan melayu yang berjaya hingga tahun 1600-an, ternyata banyak meninggalkan mitos dan legenda. Salah satunya adalah legenda meriam puntung, yakni meriam yang telah putus menjadi dua bagian. Meriam puntung dimitoskan adalah jelmaan Paduka Baginda Mambang Khayali, adik bungsu Putri Hijau, permaisuri Kerajaan Haru yang dikenalcantik jelita. Bahkan dalam cerita di tengah masyarakat disebut penyebab meriam itu menjadi puntungadalah karena menembak terus menerus ketika Kerajaan Aceh menyerang Kerajaan Haru untuk merebut Putri Hijau.
Meriam itu konon adalah putra bungsu Raja Mambang Di Atas Awan, seorang raja sakti dari Kerajaan Beraja yang terletak di dataran tinggi Karo, persisnya daerah yang dinamakan Seberaya sekarang. Sedangkan ibunya adalah Permaisuri Merak Jingga. Ketika lahir meriam yang bernama asli Paduka Baginda Mambang Khayali. Dalam kisah-kisah, meriam ini disebut mempunyai dua kakak. Yang paling sulung bernama Paduka Baginda Mambang Diazid, sedang yang tengah Putri Siti Qadariah yang karena kecantikannya yang menawan disebut Putri Hijau.
Dalam hikayatnya, Sang Puteri memiliki dua saudara kembar yang dipercaya adalah seekor naga bernama Ular Simangombus dan sebuah meriam bernama Meriam Puntung. Alkisah, Ular Simangombus memiliki selera makan yang luar biasa. Ia digambarkan seakan tidak pernah kenyang. Rakyat Siberaya akhirnya tidak sanggup lagi menyediakan makanan untuk naga ini, sehingga Sang Puteri bersama kedua saudaranya memutuskan pindah ke hilir sungai dan menetap di sebuah perkampungan baru yang sekarang dikenal dengan nama Deli Tua. Di sini, para pengikutnya membangun benteng yang kuat. Dengan demikian, negeri itu cepat makmur. Kecantikan Sang Puteri yang menyebar seperti kabar burung ke segala penjuru, suatu ketika mendarat di telinga Raja Aceh. Ia lantas kepincut dan mengirim bala tentara untuk meminang Puteri Hijau.
Utusan langsung dikirim. Pantun bersahut-sahutan. Tapi pinangan ini ditolak dan membuat Raja Aceh betul-betul dilanda murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina sehingga jatuhlah perintah untuk segera menyerang benteng Puteri Hijau. Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya. Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang.
Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang logam, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng. Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam adalah salah seorang saudara Puteri Hijau, yaitu Meriam Puntung. Tapi karena ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi panas, meledak, terlontar, dan terputus dua. Bagian moncongnya tercampak ke kampung Sukanalu. Sedangkan bagian sisanya terlontar ke
Labuhan Deli, dan kini ada di halaman Istana Maimoon Medan. Melihat situasi yang tak menguntungkan, Ular Simangombus, saudara Sang Puteri lainnya, menaikkan Puteri Hijau ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan (Jalan Puteri Hijau), memasuki sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka. Dan hingga sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala. Namun sebuah anak legenda menyebutkan bahwa Puteri Hijau sebenarnya sempat tertangkap. Ia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau memohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, ia diberikan berkarung- karung beras dan beribu-ribu telur. Tetapi baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat, disusul gelombang yang tinggi dan ganas. Dari perut laut muncul jelmaan saudaranya, Ular Simangombus, yang dengan rahangnya mengambil peti tempat adiknya dikurung. Lalu Puteri Hijau dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan pulau Berhala. Menurut cerita ini, saudara-saudara Puteri Hijau adalah manusia-manusia sakti yang masing-masing bisa menjelma menjadi meriam dan naga.
Sampai kini meriam puntung masih dianggap bertuah. Bagian pangkalnya disimpan di dalam sebuah rumah kecil berarsitektur etnis Karo -salah satu etnis di Indonesia-di depan bekas Istana Maimun, pusatKesultanan Melayu Deli, di Medan. Sedangkan bagianujungnya dan sebuah pelurunya disimpan di desa Sukanalu, Tanah Karo, sebuah daerah wisata berhawa sejuk sejauh 80 kilometer dari Medan, yang juga disebut sebagai daerah asal orang tua meriam itu.
Kedua puntungan meriam ini diperlakukan seperti layaknya seorang manusia. Bagian meriam yang simpan di Istana Maimun misalnya, “ditidurkan” dalam kelambu berwarna kuning dan dikawal seorang penjaga. Di sekitarnya dipasang dupa (kemenyan) dan ditaburi bunga. Terkadang di sana disajikan pula rokok, sepiring pulut dan beberapa buah telur ayam. Begitu pula puntungan meriam di Sukanalu. Di sana, bagian ujung meriam dan pelurunya yang berdiameter 21 cm diselimuti kain putih dan disemayamkan dalam rumah kecil. Di sekitarnya disediakan sesajian berupa jeruk (limau), rokok, sirih, air putih dan dupa (kemenyan).
1 Comments:
Leave a Reply